Indepth Reporting dan Investigative Reporting

Sebelum membahas lebih jauh mengenai  Indepth Reporting , akan dibahas dulu mengenai perbedaan antara  Indepth Reporting  dan Investigatif Reporting, karena ada beberapa pengertian yang seringkali salah kaprah soal itu. 

Indepth Reporting  

Merupakan suatu laporan yang mendalam tentang suatu objek yang biasanya mengenai kepentingan khalayak dan layak diketahui umum. Reportase dilakukan untuk menggali sebanyak mungkin data agar bisa disajikan dengan jelas dan rinci agar masyarakat bisa benar-benar memahami objek tersebut. Indepth Reporting tidak menyiratkan kegiatan membongkar aib, kesalahan, atau kelemahan pemerintah tapi sebagai mencari data dan keterangan belaka. Dalam melakukan indepth reporting seorang wartawan bisa berangkat praktis dari nol atau dari sekadar membaca kliping-kliping koran. 

Investigatif Reporting 

Dimulai dari asumsi atau anggapan bahwa ada something is wrong, that some one has done something wrong. Istilah investigasi muncul pertama kali saat Nellie Bly jadi reporter Pittsburgh Dispatch pada 1890. Bly menyelidiki kehidupan buruh anak yang mencari nafkah dalam kondisi buruk. Bly sengaja bekerja di sebuah pabrik di Pittsburgh. Laporan investigasinya mendorong terjadinya perubahan terhadap standar hidup para pekerja kelas bawah itu. Ketekunan Nellie Bly mengilhami jurnalisme Amerika. Laporan investigasi sejatinya bukan reportase biasa. 

Robert Greene dari Newsday, dikenal sebagai Bapak Jurnalisme Investigasi Modern, mensyaratkan sekurang-kurangnya tiga elemen dasar :

  1. Liputan benar-benar gagasan orisinal wartawan dan hasil bukan investigasi pihak lain yang ditindaklanjuti.
  2. Membongkar kejahatan publik yang disembunyikan, subjek investigasi merupakan kepentingan bersama yang cukup masuk akal untuk mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca suratkabar atau pemirsa televisi bersangkutan.
  3. Menemukan siapa pelakunya.

Hipotesis merupakan langkah penting bagi wartawan untuk sebelum melakukan investigatif reporting. Hipotesis biasanya disusun dengan beberapa pertanyaan dasar. 

  1. Pertanyaan tentang aktor pelaku kejahatan. “Siapa yang bertanggungjawab atas penyalahgunaan dana masyarakat tersebut? Siapa yang memicu huru-hara? Siapa yang mula-mula menyebarkan sentimen antietnik atau antiagama tertentu?
  2. Bagaimana cara-cara suatu kejahatan dilakukan. Hipotesis ini yang terus-menerus diteliti, diuji dan disimpulkan benar-tidaknya. Kalau kemudian terbukti bahwa hipotesis itu salah, seorang investigator harus dengan besar hati mengakui bahwa tidak terjadi kejahatan di sana. Kasus ditutup. Setiap investigasi memang mengandung kemungkinan bahwa hasilnya ternyata tidak sedramatis yang diperkirakan.

Laporan indepht reporting yang seringkali disamakan dengan Investigatif reporting.

Salah satu hal yang banyak membedakan adalah ada atau tidaknya hipotesis dalam proses reportase. Hipotesis sangatlah penting untuk membentuk wartawan memfokuskan dirinya dalam suatu investigasi.

Pada liputan investigatif, seorang atau lebih wartawan memutuskan untuk melakukan suatu liputan investigatif karena mencium adanya suatu pelanggaran yang menyangkut kepentingan umum yang ingin ditutup-tutupi, dan masalah ini dianggap layak dan penting diketahui masyarakat.

Sedangkan pada indepht reporting, adanya pelanggaran hukum itu bukan merupakan unsur utama. Tujuan indepht reporting lebih pada upaya untuk mengangkat suatu masalah, atau suatu soal secara mendalam.

Dalam batasan tertentu investigatif reporting adalah fase kelanjutan dari indepth reporting. Ketika wartawan itu sudah jauh lebih banyak mengetahui duduk persoalan sebenarnya, saat itulah ia pada titik hendak melakukan kegiatan lanjutan atau tidak. Liputan lanjutan inilah yang lebih bersifat investigatif. Direktur Philippines Center for Investigative Journalism (PCIJ) Sheila Coronel secara singkat membagi proses investigasi ke dalam dua kali tujuh bagian.

Tahap Pertama:

  1. First lead (petunjuk awal): koran, desas-desus, telepon gelap, surat kaleng, dll
  2. Initial reporting (penjaringan nama, pemilihan narasumber, tempat yang akan diobservasi,pembuatan kronologi)
  3. Literature search (mengacu pada hasil liputan awal; kliping koran, pencarian di internet, buku, dan sumber lain)
  4. Interviewing experts (sumber ahli/pakar)
  5. Finding a paper trail (BAP, berkas sidang pengadilan, hasil visum)
  6. Interviewing key informants and sources

Tahap Kedua:

  1. First hand observation (Observasi di lapangan berguna untuk mendapat data detil sekaligus memastikan kebenaran dokumen)
  2. Organizing files (Data-data hasil pengamatan lapangan, yang dikawinkan dengan data-data sebelumnya, perlu diorganisasikan secara cermat dalam file-file)
  3. More interviews (menambahi data-data bolong ketika file sudah diorganisasikan secara cermat dan teliti. Wawancara ini umumnya hanya berlangsung untuk sumber-sumber kunci dan saksi-saksi)
  4. Analyzing and organizing (misalnya Metode lebih baku diperkenalkan Robert Greene dari Newsday berupa Sistem Memo: Copy Ready dan Procedural )
  5. Writing (Yang perlu diingat, dalam menulis yang pertama-tama didahulukan adalah bahwa laporan harus benar. Baru kemudian, menarik dan relevan)
  6. Fact checking (ingat: intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi)
  7. Libel checking

Indepth reporting, interpretatif reporting, maupun investigatif reporting, seperti jenis liputan lainnya, menekankan pada perlunya etika dan hukum.Kode etik media massa, di antaranya, memberikan beberapa jenis keterangan yang mesti diperhatikan wartawan, dan sumber-sumbernya di masyarakat luas: [cara jadi reporter]

  1. On the record. Semua pernyataan boleh langsung dikutip dengan menyertakan nama serta jabatan si sumber. Kecuali ada kesepakatan lain, semua komentar dianggap boleh dikutip.
  2. On background. Semua pernyataan boleh dikutip langsung, tapi tanpa menyebutkan nama si sumber. Jenis penyebutan yang digunakan si sumber harus dinegosiasikan lebih dulu. Tapi harus diingat bahwa makin kabur identitas si sumber, makin ringan juga kredibilitas laporan si wartawan. Seorang dosen di sebuah universitas lebih kabur ketimbang seorang dosen di fakultas universitas tersebut.
  3. On deep background. Semua pernyataan sumber boleh digunakan tapi tidak dalam kutipan langsung. Reporter menggunakan keterangan itu tanpa menyebutkan sumbernya. Umumnya, reporter tak suka kategori ini, sebab si sumber, apalagi yang sudah berpengalaman dengan media, sering memanfaatkan status ini untuk mengapungkan umpan tanpa mau mempertanggungjawabkannya.
  4. Offthe record. Informasi yang diberikan secara off the record hanya diberikan kepada reporter dan tak boleh disebarluarkan dengan cara apapun. Informasi itu juga tak boleh dialihkan kepada narasumber lain dengan harapan informasi itu bisa dikutip. Secara umum harus diketahui lebih dulu bahwa rencana penyampaian informasi secara off the record harus disepakati lebih dulu oleh reporter. Risiko menyetujui informasi off the record adalah si wartawan terikat untuk tak menggunakan informasi tersebut -termasuk kemungkinan bahwa informasi itu diperoleh dalam bentuk yang lain dari narasumber lain, tapi bisa menimbulkan kesan bahwa si wartawan tak menghormati kesepakatannya dengan sumber pertama –sampai ada pihak lain yang mengeluarkannya dengan nama lengkap.

Pemahaman etika dan hukum pers diperlukan wartawan investigasi ketika berhadapan dengan liputan-liputan yang konfidensial; yang sengaja ditutup rapat-rapat oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini, di antaranya, menyebabkan teknik affidavit (pernyataan tertulis yang dibuat di bawah sumpah, di hadapan notaris publik) dan penyamaran dipakai dalam peliputan investigasi.

Dalam upaya mencari keterangan narasumber yang kuat, terutama investigatif reporting, kerap mensyaratkan informasi dari para saksi mata. Para saksi mata adalah orang-orang yang menyaksikan langsung peristiwa yang terjadi. Mereka memiliki informasi tentang fakta. Namun, keterangan mereka dianggap memiliki potensi memojokkan pihak-pihak tertentu. Untuk itulah, kesaksian mereka harus diberi perlindungan hukum dan disebut affidavit.

Keterangan ini menjadi senjata wartawan. Affidavit merupakan bahan yang dapat memperkuat berita investigasi dan dapat dimanfaatkan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk. Bahkan, bisa digunakan untuk menepis kemungkinan penyangkalan narasumber yang menyatakan bahwa dirinya telah salah kutip.

Terkadang reporter terpaksa melakukan penyamaran dalam penyelidikannya. Apakah diperbolehkan? Kalau iya, kapan seorang wartawanboleh mencuri? Kapan ia boleh memakai kamera tersembunyi? Kapan ia boleh memalsukan identitasnya?

Kasus: Stasiun televisi ABC bikin penyamaran tentang perlakuan buruk terhadap anak-anak cacat mental di sebuah rumah sakit. ABC mendapatkan pujian. Rumah sakit itu terpaksa mengubah kebijakan mereka. Pemerintah setempat juga minta maaf. Lalu terjadi perubahan besar-besaran aturan pemerintah soal rumah sakit anak-anak cacat.

Ada kasus lain, juga terjadi pada ABC, penyamaran mereka tentang pabrik pengemasan daging berbuah gugatan hukum. Belakangan mereka terpaksa minta maaf dan membayar denda. Mereka terbukti bersalah karena data dan gambar yang mereka tampilkan tidak proporsional. Perusahaan itu memang menghasilkan beberapa potong daging yang busuk namun jumlahnya sangat kecil. Mereka juga disalahkan karena menyadap telepon seorang eksekutif perusahaan daging tersebut.

Dari dua kasus pada sebuah televisi yang sama itu, ada beberapa pedoman bila kita terpaksa harus mencuri:

  1. Motivasi kita melakukan pencurian atau penyamaran tujuannya murni untuk kepentingan publik.
  2. Wartawan sudah melakukan prosedur yang biasa untuk mendapatkan data, informasi, dokumen gambar atau suara, dengan frekuensi yang cukup tinggi, namun belum berhasil mendapatkan apa yang dicarinya.
  3. Harus seizin atasan si reporter. Artinya, ini pekerjaan di luar standar normal. Maka para editor harus tahu dan memberikan izin. Siapa tahu kelak ada gugatan hukum.
  4. Ketika hasil pencurian ini disajikan ke publik, kita juga harus transparan menjelaskan bahwa ia didapat dengan mencuri namun prosedur itu terpaksa ditempuh karena prosedur normal tidak berhasil.

Kita harus memberikan kesempatan kepada audiens untuk menilai sendiri. Kita tentu juga harus minta tanggapan dari pihak yang kita curi untuk dimuat tanggapannya bersama dengan presentasi hasil penyamaran kita. Tanggapan ini diminta tidak pada saat penyamaran.

Ia diminta sesudah kita mendapatkan informasi tersebut. William Recktenwald, reporter Chicago Tribune, yang terlibat dalam berbagai tindak penyamaran dalam sejumlah investigasi, setuju bahwa reporter seharusnya menghindari penyamaran kecuali jika mutlak diperlukan. Ia memberi beberapa saran :

  1. Tugas pertama seorang reporter dalam mengandaikan dirinya menjadi orang lain semata-mata untuk melaksanakan pekerjaan dengan benar dan bukan untuk mengacaukan hidup orang lain. Jika seorang reporter akan bekerja di panti perawatan manusia lanjut usia, tugas-tugasnya harus didahulukan ketimbang profesinya sebagai jurnalis.
  2. Jika sesuatu yang dicari tak ada di sana, jangan membuatnya ada. Jangan pernah mendorong orang untuk melanggar hukum agar mendapat adegan dalam laporan yang hendak disampaikan.
  3. Seorang reporter yang menggunakan identitas palsu, janganlah terlalu jauh dalam menyamar. Misalnya, tidak jadi manajer jika jabatan satuan pengamanan lebih cocok dipakai dalam penyamaran. Ketika mengisi lembar aplikasi gunakan tanggal lahir, alamat, asal sekolah, dan pengalaman kerja yang sesungguhnya, kecuali pekerjaannya selaku reporter. —
  4. Dalam banyak kasus, latar belakang tidak diperiksa. Tapi jangan sekali-kali berbohong untuk dokumen-dokumen tertentu, seperti surat izin mengemudi, yang memerlukan sebuah sumpah.
  5. Jangan pernah melanggar hukum. Pengumpulan berita tidak kebal terhadap hukum.
  6. Hindari “lubang-lubang bocoran” informasi yang akan menggantungkan reporter dengan banyak sumber tak bernama.

Manajemen Indepth reporting (indepth news).

Pengertian:

Laporan jurnalistik (dikerjakan berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik: menyucikan fakta, memakai prosedur check and recheck, menulis secara berimbang, dst). Mendalam (lebih dari sekadar hard news atau berita standar, diperkuat data yang lengkap)

Obyek Liputan:

  1. Semua obyek liputan jurnalistik
  2. Angle Liputan:
  3. People
  4. Komunitas
  5. Kedekatan geografis
  6. Kedekatan demografis
  7. Kedekatan psikografis
  8. Berapa Lama:
  9. Tergantung. Bisa untuk edisi besok maupun untuk edisi beberapa hari kemudian yang akan disajikan dalam liputan khusus satu atau dua halaman maupun tulisan bersambung.

HOW (Cara Penggarapan).

Liputan indepth selalu rumit dari segi isi (content) maupun design karena itu, ada baiknya, biasakanlah membuat organisasi kerja. Buat rencana (desain) liputan dan rencana (design) halaman. Bersyukurlah bila Anda memiliki reporter yang memiliki kualifikasi mampu membuat design liputan. Bila tidak, Anda harus membuatnya sendiri.

Content:

  1. Tentukan angle liputan (lihat Angle Liputan).
  2. Data apa yang mendukung
  3. Foto-foto apa saja yang diperlukan
  4. Siapa narasumbernya
  5. Kapan deadline
  6. Siapa mengerjakan apa
  7. Evaluasi bahan yang diperoleh.
  8. Setelah semua oke, buatlah perencanaan halaman

Design:

  1. Tentukan design halaman
  2. Beberapa Panduan Penyajian
  3. Dalam liputan indepth, banyak bahan berita yang hendak disajikan. Semua terasa menarik. Pada situasi seperti ini, langkah sederhana yang harus dilakukan adalah membuat skala prioritas berdasarkan pertimbangan kelengkapan berita dan kebutuhan pembaca.
  4. Dengan menyentuh soal in depth news artinya sebuah berita tidak cukup hanya sebatas memenuhi patokan klasik 5W (what, where, when, who, why) dan 1 H (how). Untuk dapat menuliskan sesuatu in depth, termasuk berita, tentu saja si penulis memerlukan data yang relatif lengkap dan acuan-acuan dari berbagai sumber.
  5. Data-data itu diperiksa kembali dan diperiksa silang menggunakan berbagai sumber, selain menggunakan berbagai nara sumber, juga memanfaatkan berbagai sumber perpustakaan tentang subyek yang sama. Di sini, lalu muncullah peran penting hasil-hasil penelitian, dan tersedianya perpustakaan yang padan sehingga memungkinkan penulis memperoleh tulisan indepth. [cara jadi reporter]

Hasil-hasil penelitian dan acuan perpustakaan selain membantu guna memperoleh data-data yang relatif akurat, juga berfungsi sebagai bahan pembanding. Penggunaan metoda perbandingan kiranya memang membantu dalam melihat hal-ikhwal seadanya hal-ikhwal itu, tingkat perkembangan serta capaiannya.

Membantu penulis untuk seminim mungkin luput dari evaluasi subyektif. Kalau pandangan demikian benar, maka tulisan in depth tidak bertentangan dengan tuntutan obyektivitas berita (news) atau tulisan non fiksi (non fiction writing). Namun ada pegangan yang paling penting, apapun akhirnya seorang jurnalis akan berhadapan dengan resiko. Tapi ia tidak akan mengelabui hati nuraninya, dan masyarakat yang harus menerima informasi itu. Yaitu :

  1. Fakta : Informasi, wawancara (menurut ahli komunikasi UI, Ibnu Hamad), kesaksian adalah fakta.
  2. Cover both Sides : Ini adalah etika, sekaligus untuk menjaga adanya malice atau un-malice dalam peradilan yang beradab, yang menjunjung hukum yang bersih dan keadilan.

Manajemen Investigatif Reporting.

  1. Smelling a story / That was something wrong (mencium berita / ada sesutau yang salah). Disini, reporter Media Penerbitan/Penyiaran mulai curiga dan mengendus/mencium adanya ketidakberesan yang layak diketahui masyarakat.
  2. Menentukan subjek. Apakah layak diselidiki, misalnya apakah menyangkut kepentingan umum, seberapa besar magnitude-nya atau daya tariknya, menarik perhatian masyarakat atau tidak, bagaimana feasibility-nya, serta mendapat dukungan/persetujuan redaktur Media Penerbitan/Penyiaran.
  3. Perencanaan. Meliputi semua aspek yang mungkin timbul. Reporter Media Penerbitan/Penyiaran harus lebih dulu membangun diskusi dengan tim-nya atau dengan para redaktur Media Penerbitan/Penyiaran, dalam brainstorming, atau adu pendapat. Lalu disusun rencana outline, termasuk rencana kerja, perencanaan waktu, biaya, serta penentuan narasumber.
  4. Riset. Hal ini bisa dilakukan juga sebelum perencanaan. Tujuannya, agar tim reporter dan redaktur Media Penerbitan/Penyiaran menguasai masalah sebelum terjun ke lapangan. Dalam tahapan ini data-data statistik yang menjadi penunjang laporan bisa disiapkan.
  5. Masuk Lapangan. Dalam pelaksanaan di lapangan, selain siap menghadapi berbagai hambatan, reporter Media Penerbitan/Penyiaran juga perlu siap melakukan penyesuaian, karena acap kali apa yang di rencakan di belakang meja ternyata berbeda dengan yang ditemukan di lapangan.
  6. Check. Ini harus selalu diingat oleh reporter dan redaktur Media Penerbitan/Penyiaran. Tetaplah terus menerus melakukan check, double check, dan triple check terhadap informasi dan data yang diperoleh di lapangan.
  7. Penulisan. Setelah semua informasi tergali, penulisan bisa dimulai. Sekali, lagi, penulisan seharusnya yang otoritatif, objektive, nonpartisan, fair dan impartial. Dan, tentu saja, manusiawi dan enak dibaca.

Leave a comment